Bursa Efek Indonesia (disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange (IDX)) merupakan bursa hasil penggabungan dari Bursa Efek Jakarta (BEJ) dengan Bursa Efek Surabaya (BES). Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif.Bursa hasil penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007.
BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System (JATS) sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan sebelumnya. Sejak 2 Maret 2009 sistem JATS ini sendiri telah digantikan dengan sistem baru bernama JATS-NextG yang disediakan OMX.
Bursa Efek Indonesia berpusat di Gedung Bursa Efek Indonesia, Kawasan Niaga Sudirman, Jalan Jenderal Sudirman 52-53, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC.
Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagimana mestinya.
Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah
Bursa Efek
Jakarta pertama kali dibuka pada tanggal 14 desember 1912, dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda, didirikan di Batavia, pusat pemerintahan kolonial
Belanda yang kita kenal sekarang dengan Jakarta. Bursa Efek Jakarta dulu
disebut Call-Efek. Sistem
perdagangannya seperti lelang, dimana tiap efek berturut-turut diserukan
pemimpin “Call”, kemudian para
pialang masing-masing mengajukan permintaan beli atau penawaran jual sampai
ditemukan kecocokan harga, maka transaksi terjadi. Pada saat itu terdiri dari
13 perantara pedagang efek (makelar).
Bursa saat
itu bersifat demand-following, karena
para investor dan para perantara
pedagang efek merasakan keperluan akan adanya suatu bursa efek di Jakarta.
Bursa lahir karena permintaan akan jasanya sudah mendesak. Orang-orang Belanda
yang bekerja di Indonesia saat itu sudah lebih dari tiga ratus tahun mengenal
akan investasi dalam efek, dan penghasilan serta hubungan mereka memungkinkan
mereka menanamkan uangnya dalam aneka rupa efek. Baik efek dari perusahaan yang
ada di Indonesia maupun efek dari luar negeri. Sekitar 30 sertifikat (sekarang
disebut depository receipt)
perusahaan Amerika, perusahaan Kanada, perusahaan Belanda, perusahaan Prancis
dan perusahaan Belgia.
Bursa Efek
Jakarta sempat tutup selam periode perang dunia pertama, kemudian di buka lagi
pada tahun 1925. Selain Bursa Efek Jakarta, pemerintah kolonial juga
mengoperasikan bursa parallel di Surabaya dan Semarang. Namun kegiatan bursa
ini di hentikan lagi ketika terjadi pendudukan tentara Jepang di Batavia.
Aktivitas
di bursa ini terhenti dari tahun 1940 sampai 1951 di sebabkan perang dunia II
yang kemudian disusul dengan perang kemerdekaan. Baru pada tahun 1952 di buka
kembali, dengan memperdagangkan saham dan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan
Belanda di nasionalisasikan pada tahun 1958. Meskipun pasar yang terdahulu
belum mati karena sampai tahun 1975 masih ditemukan kurs resmi bursa efek yang
dikelola Bank Indonesia.
Bursa Efek
Jakarta kembali dibuka pada tanggal 10 Agustus 1977 dan ditangani oleh Badan
Pelaksana Pasar Modal (BAPEPAM), institusi baru di bawah Departemen Keuangan.
Kegiatan perdagangan dan kapitalisasi pasar saham pun mulai meningkat seiring
dengan perkembangan pasar finansial dan sektor swasta yang puncak perkembangannya
pada tahun 1990. Pada tahun 1991, bursa saham diswastanisasi menjadi PT. Bursa
Efek Jakarta dan menjadi salah satu bursa saham yang dinamis di Asia.
Swastanisasi bursa saham ini menjadi PT. Bursa Efek Jakarta mengakibatkan
beralihnya fungsi BAPEPAM menjadi Badan Pengawas Pasar Modal.
Bursa efek
terdahulu bersifat demand-following,
namun setelah tahun 1977 bersifat supplay-leading,
artinya bursa dibuka saat pengertian mengenai bursa pada masyarakat sangat
minim sehingga pihak BAPEPAM harus berperan aktif langsung dalam memperkenalkan
bursa.
Pada tahun
1977 hingga 1978 masyarakat umum tidak atau belum merasakan kebutuhan akan
bursa efek. Perusahaan tidak antusias untuk menjual sahamnya kepada masyarakat.
Tidak satupun perusahaan yang memasyarakatkan sahamnya pada periode ini. Baru
pada tahun 1979 hingga 1984 dua puluh tiga perusahaan lain menyusul menawarkan
sahamnya di Bursa Efek Jakarta. Namun sampai tahun 1988 tidak satu pun
perusahaan baru menjual sahamnya melalui Bursa Efek Jakarta.
Untuk
lebih mengairahkan kegiatan di Bursa Efek Jakarta, maka pemerintah telah
melakukan berbagai paket deregulasi, antaralain seperti: paket Desember 1987,
paket Oktober 1988, paket Desember 1988, paket Januarti 1990, yang prinsipnya
merupakan langkah-langkah penyesuaian peraturan-peraturan yang bersifat
mendorong tumbuhnya pasar modal secara umum dan khususnya Bursa Efek Jakarta.
Setelah
dilakukan paket-paket deregulasi tersebut Bursa Efek Jakarta mengalami kemajuan
pesat. Harga saham bergerak naik cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang
bersiafat tenang. Perusahaan-perusahaan pun akhirnya melihat bursa sebagai
wahana yang menarik untuk mencari modal, sehingga dalam waktu relative singkat
sampai akhir tahun 1997 terdapat 283 emiten yang tercatat di Bursa Efek Jakarta.
Tahun 1955
adalah tahun Bursa Efek Jakarta memasuki babak baru, karena pada tanggal 22 Mei
1995 Bursa Efek Jakarta meluncurkan Jakarta
Automated Trading System (JATS). JATS merupakan suatu sistim perdagangan
manual. Sistim baru ini dapat memfasilitasi perdagangan saham dengan frekuensi
yang lebih besar dan lebih menjamin kegiatan pasar yang fair dan transparan di
banding sistim perdagangan manual.
Pada bulan
Juli 2000, Bursa Efek Jakarta merupakan perdagangan tanpa warkat (ckripess trading) dengan tujuan untuk
meningkatkan likuiditas pasar dan menghindari peristiwa saham hilang dan
pemalsuan saham, serta untuk mempercepat proses penyelesaian transaksi.
Tahun 2001
Bursa Efek Jakarta mulai menerapkan perdagangan jarak jauh (Remote Trading), sebagai upaya
meningkatkan akses pasar, efisiensi pasar, kecepatan dan frekuensi perdagangan.
Tahun 2007
menjadi titik penting dalam sejarah perkembangan Pasar Modal Indonesia. Dengan
persetujuan para pemegang saham kedua bursa, BES digabungkan ke dalam BEJ yang
kemudian menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan tujuan meningkatkan peran
pasar modal dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008, Pasar Modal
Indonesia terkena imbas krisis keuangan dunia menyebabkan tanggal 8-10 Oktober
2008 terjadi penghentian sementara perdagangan di Bursa Efek Indonesia.. IHSG,
yang sempat menyentuh titik tertinggi 2.830,26 pada tanggal 9 Januari 2008,
terperosok jatuh hingga 1.111,39 pada tanggal 28 Oktober 2008 sebelum ditutup
pada level 1.355,41 pada akhir tahun 2008. Kemerosotan tersebut dipulihkan
kembali dengan pertumbuhan 86,98% pada tahun 2009 dan 46,13% pada tahun 2010.
Pada
tanggal 2 Maret 2009 Bursa Efek Indonesia meluncurkan sistim perdagangan baru
yakni Jakarta Automated Trading System
Next Generation (JATS Next-G), yang merupakan pengganti sistim JATS yang
beroperasi sejak Mei 1995. sistem semacam JATS Next-G telah diterapkan di
beberapa bursa negara asing, seperti Singapura, Hong Kong, Swiss, Kolombia dan
Inggris. JATS Next-G memiliki empat mesin (engine), yakni: mesin utama, back up
mesin utama, disaster recovery centre (DRC), dan back up DRC. JATS Next-G
memiliki kapasitas hampir tiga kali lipat dari JATS generasi lama .
Demi
mendukung strategi dalam melaksanakan peran sebagai fasilitator dan regulator
pasar modal, BEI selalu mengembangkan diri dan siap berkompetisi dengan
bursa-bursa dunia lainnya, dengan memperhatikan tingkat risiko yang terkendali,
instrument perdagangan yang lengkap,
sistem yang andal dan tingkat likuiditas yang tinggi. Hal ini tercermin dengan
keberhasilan BEI untuk kedua kalinya mendapat penghargaan sebagai “The Best
Stock Exchange of the Year 2010 in Southeast Asia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar