A.
Accounting
Theory
Teori akuntansi adalah adalah cabang akuntansi yang terdiri dari pernyataan
sistematik tentang prinsip dan metodologi yang membedakan dengan praktik.
Definisi lain teori akuntansi merupakan suatu susunan konsep, definisi, dan
dalil yang menyajikan secure sistematis gambaran fenomena akuntansi serta
menjelaskan hubungan antarvariabel dalam struktur akuntansi dengan maksud untuk
dapat memprediksi fenomena yang muncul.
Fungsi Teori akuntansi adalah :
1. Sebagai pedoman bagi lembaga penyusun standar akuntansi
2. Memberikan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak ada standar resmi
3. Meningkatkan pemahaman dan keyakinan pembaca terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
Fungsi Teori akuntansi adalah :
1. Sebagai pedoman bagi lembaga penyusun standar akuntansi
2. Memberikan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak ada standar resmi
3. Meningkatkan pemahaman dan keyakinan pembaca terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
4. Agar laporan keuangan dapat diperbandingkan
5. Memberikan kerangka acuan dalam menilai prosedur dan praktik akuntansi.
Vernon kam (1986) menganggap bahwa teori akuntansi adalah suatu sistem yang
komprehensif dimana termasuk postulat dan teori yang berkaitan dengannya. Dia
membagi unsure teori dalam beberapa elemen: postulat dan asumsi dasar,
definisi, tujuan akuntasi, prinsip atau standar, dan prosedur atau
metode-metode.
Vernon Kam (1986) mengemukakan fungsi dari adanya teori akuntansi sebagai
berikut :
- Menjadikan pegangan bagi lembaga penyusunan standar akuntansi dalam menyusun standarnya.
- Memberikan kerangka rujukan untuk menyelesaikan masalah akuntansi dalam hal tidak adanya standar resmi.
- Menentukan batas dalm hal melakukan judgment dalam penyusunan laporan keuangan.
- Meningkatkan pemahaman dan keyakinan pembaca laporan terhadap informasi yang disajikan laporan keuangan.
- Meningkatkan kualitas laporan yang dapat diperbandingkan.
Sedangkan Hendriksen (1982) mengemukakan kegunaan teori akuntansi sebagai
berikut :
1. Memberikan kerangka rujukan sebagai dasar untuk menilai prosedur dan
praktik akuntansi.
2. Memberikan pedoman terhadap praktik dan prosedur akuntansi yang
baru.
Menurut Ahmed Belkaoui, tidak ada teori akuntansi yang lengkap pada kurun
waktu. Oleh karena itu, teori akuntansi harus mencakup semua literature
akuntansi yang memberikan pendekatan yang berbeda-beda satu sama lain. Tidak
ada teori akuntansi yang lengkap, yang mencakup dan memenuhi keinginan dari
semua keadaan dan waktu dengan efektif.
Teori akuntansi harus dapat memberikan penjelasan mengenai praktik
akuntansi; menjawab,dan menjelaskan semua fenomena yang melatarbelakangi
penerapan suatu metode dalam praktik akuntansi. Teori akuntansi harus bisa
memprediksi atau bahkan menemukan gejala akuntansi yang belum diketahui.
Teori akuntansi memiliki beberapa sifat, diantaranya yaitu :
a) Merupakan seperangkat prinsip yang logis, saling
terkait dan membentuk kerangka umum.
b) Berkaitan erat dengan penyusunan kebijakan
akuntansi.
c) Harus mencakup semua literatur akuntansi yang
memberikan pendekatan yang berbeda-beda satu sama lain.
d) Harus dapat memberikan penjelasan mengenai
praktik akuntansi, menjawab dan menjelaskan semua fenomena yang
melatarbelakangi penerapan suatu metode dalam praktik akuntansi.
e) Harus dapat menjelaskan mengapa perusahaan lebih
cenderung menggunakan metode LIFO daripada FIFO dalam menilai persediaannya.
f) Harus bisa memprediksi atau bahkan
menemukan gejala akuntansi yang belum diketahui.
g) Sangat penting dalam menyusun dan memverifikasi
prinsip akuntansi
B.
Pragmatic
Theories
Pragmatis adalah aliran filsafat
yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya
yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari
pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan
kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika
pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia
dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu
sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.
Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi
dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika
memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme
tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih
yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat
di dalam sejarah.
Aliran ini terutama berkembang
di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya
sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. William James adalah orang yang memperkenalkan
gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga
secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme
adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal
sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Secara etimologis, kata
'pragmatisme' berasal dari kata bahasa Yunani
pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum,
dagang, dan perkara negara. Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari
1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.
C.
Syntactic
and Semantic Theories
Teori Sintaksis
Menurut
Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 1), sintaksis adalah cabang linguistik yang
membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan. Unsur bahasa yang termasuk ke
dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
Aspek-Aspek Sintaksis
Arifin
dan Junaiyah (2008, hal. 2-5) membagi sintaksis menjadi empat aspek, yaitu:
1.
Kata
Menurut pemakai bahasa,
kata adalah satuan gramatikal yang diujarkan, bersifat berulang-ulang, dan
secara potensial ujaran itu dapat berdiri sendiri. Secara linguistis, kata
dapat dibedakan atas satuan pembentuknya, yaitu:
a. Kata
sebagai satuan fonologis
Kata mempunyai ciri-ciri
fonologis yang sesuai dengan ciri bahasa yang bersangkutan.
b. Kata
sebagai satuan gramatikal
Masih banyak ahli bahasa
yang belum sepakat mengenai batasan kata sebagai satuan gramatikal. Namun,
menurut Lyons (1971) dan Dik (1976), secara gramatikal, kata bebas bergerak, dapat dipindah-pindahkan
letaknya, tetapi identitasnya tetap. Kata memiliki keutuhan internal yang kuat
sehingga tidak bisa disisipi kata atau bentuk apapun lainya. Oleh karena itu,
awalan, akhiran, dan konfiks hanya dapat melekat pada bagian awal, bagian
akhir, serta bagian awal dan akhir kata.
c. Kata
sebagai satuan ortografis
Secara ortografis, kata ditentukan oleh sistem aksara yang
berlaku dalam bahasa itu.
2.
Frasa
Menurut Rusyana dan
Samsuri dalam Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 4), frasa adalah satuan
gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif atau satu
konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih.
Frasa terdiri atas frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris terdiri atas frasa
eksosentris direktif dan frasa eksosentris nondirektif. Frasa endosentris
terdiri atas frasa endosentris bersumbu satu dan frasa endosentris bersumbu
jamak. Frasa endosentris bersumbu satu dapat dibedakan menjadi frasa nominal,
frasa pronominal, frasa verba, frasa adjektival, dan frasa numeral. Frasa
endosentris bersumbu jamak terbagi menjadi frasa koordinatif dan frasa
apositif.
3.
Klausa
Klausa adalah satuan
gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas subjek dan predikat. Klausa
berpotensi menjadi kalimat. Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi
satuannya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan distribusi satuannya, klausa
dapat dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya,
klausa dapat dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan,
dan klausa pemerlengkapan.
Secara garis besar,
hubungan antar klausa diperinci menjadi hubungan
antarklausa koordinatif
dan hubungan antar klausa subordinatif. Hubungan klausa koordinatif dibedakan
menjadi hubungan aditif (perjumlahan), hubungan adversif (pertentangan), dan
hubungan alternatif (pemilihan). Hubungan antar klausa subordinatif dibedakan
menjadi hubungan sebab, hubungan akibat, hubungan tujuan, hubungan syarat, hubungan waktu, hubungan konsesif, hubungan
cara, hubungan kenyatan, hubungan sangkalan, hubungan pembandingan, hubungan
hasil, hubungan penjelasan, hubungan atributif, dan hubungan andaian.
4.
Kalimat
Kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai intonasi final (kalimat
lisan), dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dapat dikatakan
bahwa kalimat membicarakan hubungan antara sebuah klausa dan klausa yang lain.
Jika dilihat dari fungsinya, unsur-unsur kalimat berupa subjek, predikat,
objek, pelengkap, dan keterangan.
Menurut bentuknya,
kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal perluasaannya, serta
kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara,
kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
Teori Semantik
Semantik
adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari serta meneliti tentang
makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata benda ‘sema’ yang
berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerja dari kata ‘sema’ adalah ‘semanio’
yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Kata semantik disepakati sebagai
istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan
tentang tanda-tanda linguistik dan hal-hal yang ditandainya (Chaer, 2002, hal.
2). Semantik menurut Saeed (2003) adalah “Semantics is the study of meaning
communicated through language” (hal. 3). Artinya, “Semantik adalah ilmu tentang
makna yang diungkapkan melalui bahasa.”
Semantik
adalah pengkajian arti. Jika seseorang mengabaikan bentuk-bentuk bahasa dan
mencoba menyelidiki arti atau arti-arti
secara abstrak, ia sebenarnya mencoba menyelidiki alam raya pada umunya;
istilah semantik kadang-kadang
dihubungkan dengan usaha-usaha semacam itu (Bloomfield, 1995, hal. 495).
Menurut
Parera (2004, hal. 42), kita perlu membedakan semantik dengan semantik general.
Semantik general, yang diukir oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Alfred
Korzybski, merupakan satu reaksi terhadap filsafat Aristoteles. Semantik
general menurut Korzybski dalam Parera (2004, hal. 18) adalah studi tentang
kemampuan manusia untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat fungsi
bahasa sebagai penghubung waktu: bahasa mengikat waktu dan umur manusia. Selanjutnya,
Parera (2004, hal. 42) juga mengatakan bahwa semantik sebagai pelafalan lain
dari istilah ‘la sematique’ yang diukir oleh M.Breal dari Perancis merupakan
salah satu cabang linguistik general. Oleh karena iu, semantik di sini adalah
satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik.
Makna Kata Secara
Umum
Menurut
Keraf (2007, hal 27-28), kata makna dalam semantik dibagi secara umum menjadi
dua, yaitu makna yang bersifat denotatif
dan makna yang bersifat konotatif .
1.
Makna Denotatif
Menurut Keraf (2007, hal.
28), makna denotatif disebut juga dengan istilah makna denotasional, makna
kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional.
Disebut makna
denotasional,
referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk kepada
suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembaca) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang
dapat diserap pancaindria (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini juga disebut
makna proposisional karena bertalian dengan informasi-informasi atau
pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini adalah makna yang paling
dasar pada suatu kata. Keraf (2007, hal. 29) melanjutkan bahwa makna denotatif
dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata
dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata
dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.
2.
Makna Konotatif
Menurut Keraf (2007, hal.
29-30), konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana
stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian
terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju,
senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata
yang dipilih itu meperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang
sama. Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya
tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna
denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Konotasi
pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan
interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain.
D.
Normative
Theories
Teori
normatif yang berada pada normative period, yaitu periode 1956-1970 (Harahap,
2008: 107) berusaha menjelaskan apa yang seharusnya
dilakukan oleh akuntan dalam proses penyajian informasi keuangan kepada para
pemakai dan bukan menjelaskan tentang apakah informasi keuangan itu dan mengapa
hal itu terjadi. Menurut Nelson (1973) dalam Ghozali dan Anis (2007), teori
normatif sering disebut sebagai teori a priori (dari sebab akibat dan bersifat
deduktif).
Pendekatan
normatif yang berjaya selama satu dekade
ternyata tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap dipakai di dalam praktik sehari-hari. Design sistem akuntansi yang dihasilkan dari
penelitian normatif dalam kenyataannya tidak dipakai dalam praktik. Sebagai
akibatnya muncul anjuran untuk memahami
secara deskriptif berfungsinya sistem akuntansi
di dalam praktik nyata. Harapannya dengan pemahaman dari praktik
langsung akan muncul design sistem akuntansi yang lebih berarti (Ghozali,
2000).
Teori
normatif berkonsentrasi pada penciptaan laba sesungguhnya (true income) selama
satu periode akuntansi atau terkait tipe informasi yang bermanfaat dalam
pengambilan keputusan (decision-usefulness). Teori true income berkonsentrasi pada penciptaan
pengukur tunggal yang unik dan benar
untuk aktiva dan laba. Sedangkan pendekatan
decision usefulness menganggap bahwa tujuan dasar dari akuntansi adalah
untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan cara menyediakan data
akuntansi yang relevan atau bermanfaat.
Tuntutan
atas adanya pendekatan positif terhadap akuntansi terjadi ketika Jensen (1976) menyatakan bahwa penelitian dalam
akuntansi (dengan satu atau dua pengecualian yang dapat dicatat) tidak bersifat
ilmiah...karena fokus penelitian telah sangat normatif dan terdefinisi.
Selanjutnya Jensen mengharapkan adanya
perkembangan suatu teori akuntansi positif yang akan menjelaskan mengapa
akuntansi seperti apa adanya ia, mengapa akuntan melakukan apa yang mereka
lakukan, dan apa pengaruh yang dimiliki fenomena terhadap penggunaan orang dan
sumber daya.
Watt
and Zimmerman (1986) mengungkapkan bahwa terdapat tiga alasan mendasar
terjadinya pergeseran pendekatan normatif ke positif, yaitu:
1.
Ketidakmampuan pendekatan
normatif dalam menguji teori secara
empiris, karena didasarkan pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak
dapat diuji keabsahannya secara empiris.
2.
Pendekatan normatif lebih
banyak berfokus pada kemakmuran investor
secara individual dari pada kemakmuran masyarakat luas.
3.
Pendekatan normatif tidak
mendorong atau memungkinkan terjadinya
alokasi sumber daya ekonomi secara optimal di pasar modal.
Hal
ini mengingat bahwa dalam sistem perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme
pasar, informasi akuntansi dapat menjadi
alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi
secara efisien. Lebih lanjut Watt and Zimmerman menyatakan bahwa dasar
pemikiran untuk menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu
sederhana dan tidak memberikan dasar teoritis yang kuat. Untuk menutupi
kelemahan dari teori normatif, Watt and Zimmerman mengembangkan pendekatan
positif yang berlaku dalam specific scientific period (1970-sekarang).
E.
Positive
Theories
Riset
akuntansi positif pertama kali diketahui dilakukan oleh William H. Beaver
(1968) dengan terbitnya artikel yang berjudul “The Information Content of
Annual Earnings Announcements” (Jensen, 1976: 4, 8). Selanjutnya teori
akuntansi positif diakui kemunculannya ketika Watts dan Zimmerman
mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Towards a Positive Theory of The
Determination of Accounting Standard” pada tahun 1978. Artikel tersebut telah
menjadikan teori akuntansi positif sebagai paradigma riset akuntansi yang
dominan yang berbasis empiris kualitatif dan dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai teknik atau metode
akuntansi yang sekarang digunakan atau mencari model baru untuk pengembangan teori akuntansi
dikemudian hari. Dalam hal ini teori akuntansi positif berusaha menjelaskan
atau memprediksi fenomena nyata dan mengujinya secara empirik (Godfrey, el al,
1997 dalam Ghozali dan Anis, 2007).
Penjelasan atau prediksi dilakukan menurut kesesuaiannya dengan
observasi dengan dunia nyata. Aliran positif merupakan perspektif yang dikenal
luas oleh kalangan akademisi. Aliran ini pertama kali dikenalkan di
Universitas Chichago, kemudian meluas ke
beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, seperti Rochester, Barkley,
Stanford, UCLA, NY (Rasyid, 1997: 13-21). Tujuan teori akuntansi positif adalah
untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktik akuntansi.
Penjelasan berarti memberikan alasan-alasan terhadap praktik yang diamati.
Misalnya, teori akuntansi positif
berusaha menjelaskan mengapa perusahaan tetap menggunakan akuntansi cost historis dan mengapa perusahaan tertentu
mengubah teknik akuntansi mereka. Sedangkan prediksi terhadap praktik akuntansi
berarti teori berusaha memprediksi fenomena yang belum diamati.
Kehadiran
teori akuntansi positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi
pengembangan akuntansi. Adapun kontribusi teori akuntansi positif terhadap
pengembangan akuntansi adalah
menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan
penjelasan spesifik terhadap pola tersebut,
memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi, menunjukkan peran utama contracting cost
dalam teori akuntansi, menjelaskan mengapa
akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memprediksi pilihan-pilihan
akuntansi, mendorong riset yang relevan
dimana akuntansi menekankan pada prediksi dan penjelasan terhadap fenomena
akuntansi.
Dorongan
terbesar dari teori akuntansi positif
dalam akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to
predict) pilihan standar manajemen melalui analisis atas biaya dan manfaat dari
pengungkapan keuangan tertentu dalam hubungannya dengan berbagai individu dan pengalokasian sumber daya
ekonomi. Teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer,
pemegang saham, dan aparat pengatur adalah rasional dan bahwa mereka berusaha
untuk memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan
kompensasi mereka, dan tentunya kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa
kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif biaya dan manfaat dari
prosedur akuntansi alternatif dengan cara demikian untuk memaksimalkan kegunaan
mereka.
Riset Yang
Mendukung Teori Akuntansi Positif
Penelitian
positif di bidang akuntansi dimulai pada pertengahan tahun 1960 dan menjadi
paradigma yang dominan pada tahun 1970an dan 1980an (Deegan, 2004: 205). Teori
akuntansi positif telah banyak diuji dengan menggunakan pilihan-pilihan metode
akuntansi. Christie (1990: 15-36) menyimpulkan bahwa terdapat enam proksi yang
telah diketahui memiliki kemampuan dalam menjelaskan praktek-praktek yang
merupakan cerminan dari aplikasi teori akuntansi positif. Keenam proksi
tersebut meliputi ukuran perusahaan,
tingkat resiko, kompensasi manajerial, porsi utang terhadap aktiva atau modal,
pembatas-pembatas dalam penyelesaian utang, dan rasio pembayaran dividen.
DAFTAR PUSTAKA
www.library.binus.ac.id
diunduh pada tanggal 17 Februari 2016
www.journal.tarumanagara.gac.id
diunduh pada tanggal 17 Februari 2016
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah
Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 130-131.
Adi Armin.
2003. Richard Rorty. Jakarta:Teraju. 20-28, 96.
C.F.
Delaney. 1999. "Dewey, John". In The Cambridge Dictionary of
Philosophy.
Robert Audi,
ed. 229-231. London: Cambridge University Press.
A.
Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta:
Kanisius. Hlm.189.
John
Hospers. 1997. An Introduction to Philosophical Analysis. London:Routledge.
43-47.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar