Selasa, 22 Maret 2016

Accounting Theory



A.                Accounting Theory
Teori akuntansi adalah adalah cabang akuntansi yang terdiri dari pernyataan sistematik tentang prinsip dan metodologi yang membedakan dengan praktik. Definisi lain teori akuntansi merupakan suatu susunan konsep, definisi, dan dalil yang menyajikan secure sistematis gambaran fenomena akuntansi serta menjelaskan hubungan antarvariabel dalam struktur akuntansi dengan maksud untuk dapat memprediksi fenomena yang muncul.
Fungsi Teori akuntansi adalah :
1. Sebagai pedoman bagi lembaga penyusun standar akuntansi
2. Memberikan kerangka acuan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak ada standar   resmi
3. Meningkatkan pemahaman dan keyakinan pembaca terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan
4. Agar laporan keuangan dapat diperbandingkan
5. Memberikan kerangka acuan dalam menilai prosedur dan praktik akuntansi.
Vernon kam (1986) menganggap bahwa teori akuntansi adalah suatu sistem yang komprehensif dimana termasuk postulat dan teori yang berkaitan dengannya. Dia membagi unsure teori dalam beberapa elemen: postulat dan asumsi dasar, definisi, tujuan akuntasi, prinsip atau standar, dan prosedur atau metode-metode.
Vernon Kam (1986) mengemukakan fungsi dari adanya teori akuntansi sebagai berikut :
  1. Menjadikan pegangan bagi lembaga penyusunan standar akuntansi dalam  menyusun standarnya.
  2.  Memberikan kerangka rujukan untuk menyelesaikan masalah akuntansi dalam hal tidak adanya standar resmi.
  3. Menentukan batas dalm hal melakukan judgment dalam penyusunan laporan keuangan.
  4. Meningkatkan pemahaman dan keyakinan pembaca laporan terhadap informasi yang disajikan laporan keuangan.
  5. Meningkatkan kualitas laporan yang dapat diperbandingkan.
Sedangkan Hendriksen (1982) mengemukakan kegunaan teori akuntansi sebagai berikut :
1. Memberikan kerangka rujukan sebagai dasar untuk menilai prosedur dan praktik akuntansi.
2.  Memberikan pedoman terhadap praktik dan prosedur akuntansi yang baru.
Menurut Ahmed Belkaoui, tidak ada teori akuntansi yang lengkap pada kurun waktu. Oleh karena itu, teori akuntansi harus mencakup semua literature akuntansi yang memberikan pendekatan yang berbeda-beda satu sama lain. Tidak ada teori akuntansi yang lengkap, yang mencakup dan memenuhi keinginan dari semua keadaan dan waktu dengan efektif.
Teori akuntansi harus dapat memberikan penjelasan mengenai praktik akuntansi; menjawab,dan menjelaskan semua fenomena yang melatarbelakangi penerapan suatu metode dalam praktik akuntansi. Teori akuntansi harus bisa memprediksi atau bahkan menemukan gejala akuntansi yang belum diketahui. 
Teori akuntansi memiliki beberapa sifat, diantaranya yaitu :
a)     Merupakan seperangkat prinsip yang logis, saling terkait dan membentuk kerangka umum.
b)     Berkaitan erat dengan penyusunan kebijakan akuntansi.
c)     Harus mencakup semua literatur akuntansi yang memberikan pendekatan yang berbeda-beda satu sama lain.
d)     Harus dapat memberikan penjelasan mengenai praktik akuntansi, menjawab dan menjelaskan semua fenomena yang melatarbelakangi penerapan suatu metode dalam praktik akuntansi.
e)     Harus dapat menjelaskan mengapa perusahaan lebih cenderung menggunakan metode LIFO daripada FIFO dalam menilai persediaannya.
f)      Harus bisa memprediksi atau bahkan menemukan gejala akuntansi yang belum diketahui.
g)     Sangat penting dalam menyusun dan memverifikasi prinsip akuntansi

B.                 Pragmatic Theories
Pragmatis adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain. Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja. Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum. Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan. Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey.  Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.
Secara etimologis, kata 'pragmatisme' berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara. Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.
C.                Syntactic and Semantic Theories
Teori Sintaksis
Menurut Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 1), sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata dalam tuturan. Unsur bahasa yang termasuk ke dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat.
Aspek-Aspek Sintaksis
Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 2-5) membagi sintaksis menjadi empat aspek, yaitu:
1.        Kata
Menurut pemakai bahasa, kata adalah satuan gramatikal yang diujarkan, bersifat berulang-ulang, dan secara potensial ujaran itu dapat berdiri sendiri. Secara linguistis, kata dapat dibedakan atas satuan pembentuknya, yaitu:
a.     Kata sebagai satuan fonologis
Kata mempunyai ciri-ciri fonologis yang sesuai dengan ciri bahasa yang bersangkutan.
b.    Kata sebagai satuan gramatikal
Masih banyak ahli bahasa yang belum sepakat mengenai batasan kata sebagai satuan gramatikal. Namun, menurut Lyons (1971) dan Dik (1976), secara gramatikal,  kata bebas bergerak, dapat dipindah-pindahkan letaknya, tetapi identitasnya tetap. Kata memiliki keutuhan internal yang kuat sehingga tidak bisa disisipi kata atau bentuk apapun lainya. Oleh karena itu, awalan, akhiran, dan konfiks hanya dapat melekat pada bagian awal, bagian akhir, serta bagian awal dan akhir kata. 
c.     Kata sebagai satuan ortografis
Secara ortografis,  kata ditentukan oleh sistem aksara yang berlaku dalam bahasa itu.
2.        Frasa
Menurut Rusyana dan Samsuri dalam Arifin dan Junaiyah (2008, hal. 4), frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif atau satu konstruksi ketatabahasaan yang terdiri atas dua kata atau lebih.
Frasa terdiri atas frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris terdiri atas frasa eksosentris direktif dan frasa eksosentris nondirektif. Frasa endosentris terdiri atas frasa endosentris bersumbu satu dan frasa endosentris bersumbu jamak. Frasa endosentris bersumbu satu dapat dibedakan menjadi frasa nominal, frasa pronominal, frasa verba, frasa adjektival, dan frasa numeral. Frasa endosentris bersumbu jamak terbagi menjadi frasa koordinatif dan frasa apositif.
3.        Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas subjek dan predikat. Klausa berpotensi menjadi kalimat. Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi satuannya dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan distribusi satuannya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya, klausa dapat dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan, dan klausa pemerlengkapan.
Secara garis besar, hubungan antar klausa diperinci menjadi hubungan
antarklausa koordinatif dan hubungan antar klausa subordinatif. Hubungan klausa koordinatif dibedakan menjadi hubungan aditif (perjumlahan), hubungan adversif (pertentangan), dan hubungan alternatif (pemilihan). Hubungan antar klausa subordinatif dibedakan menjadi hubungan sebab, hubungan akibat, hubungan tujuan, hubungan syarat,  hubungan waktu, hubungan konsesif, hubungan cara, hubungan kenyatan, hubungan sangkalan, hubungan pembandingan, hubungan hasil, hubungan penjelasan, hubungan atributif, dan hubungan andaian.
4.        Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai intonasi final (kalimat lisan), dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Dapat dikatakan bahwa kalimat membicarakan hubungan antara sebuah klausa dan klausa yang lain. Jika dilihat dari fungsinya, unsur-unsur kalimat berupa subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Menurut bentuknya, kalimat dibedakan menjadi kalimat tunggal, kalimat tunggal perluasaannya, serta kalimat majemuk. Kalimat majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk campuran.
Teori Semantik
Semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari serta meneliti tentang makna. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata benda ‘sema’ yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerja dari kata ‘sema’ adalah ‘semanio’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Kata semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan tentang tanda-tanda linguistik dan hal-hal yang ditandainya (Chaer, 2002, hal. 2). Semantik menurut Saeed (2003) adalah “Semantics is the study of meaning communicated through language” (hal. 3). Artinya, “Semantik adalah ilmu tentang makna yang diungkapkan melalui bahasa.”
Semantik adalah pengkajian arti. Jika seseorang mengabaikan bentuk-bentuk bahasa dan mencoba menyelidiki arti atau arti-arti  secara abstrak, ia sebenarnya mencoba menyelidiki alam raya pada umunya; istilah  semantik kadang-kadang dihubungkan dengan usaha-usaha semacam itu (Bloomfield, 1995, hal. 495).
Menurut Parera (2004, hal. 42), kita perlu membedakan semantik dengan semantik general. Semantik general, yang diukir oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Alfred Korzybski, merupakan satu reaksi terhadap filsafat Aristoteles. Semantik general menurut Korzybski dalam Parera (2004, hal. 18) adalah studi tentang kemampuan manusia untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat fungsi bahasa sebagai penghubung waktu: bahasa mengikat waktu dan umur manusia. Selanjutnya, Parera (2004, hal. 42) juga mengatakan bahwa semantik sebagai pelafalan lain dari istilah ‘la sematique’ yang diukir oleh M.Breal dari Perancis merupakan salah satu cabang linguistik general. Oleh karena iu, semantik di sini adalah satu studi dan analisis tentang makna-makna linguistik. 
Makna Kata Secara Umum
Menurut Keraf (2007, hal 27-28), kata makna dalam semantik dibagi secara umum menjadi dua, yaitu makna yang bersifat  denotatif dan makna yang bersifat konotatif .
1.        Makna Denotatif
Menurut Keraf (2007, hal. 28), makna denotatif disebut juga dengan istilah makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional. Disebut makna
denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena makna itu menunjuk kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembaca) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindria (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini juga disebut makna proposisional karena bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini adalah makna yang paling dasar pada suatu kata. Keraf (2007, hal. 29) melanjutkan bahwa makna denotatif dapat dibedakan atas dua macam relasi, yaitu pertama, relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.
2.        Makna Konotatif
Menurut Keraf (2007, hal. 29-30), konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu meperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama. Sering sinonim dianggap berbeda hanya dalam konotasinya. Kenyataannya tidak selalu demikian. Ada sinonim-sinonim yang memang hanya mempunyai makna denotatif, tetapi ada juga sinonim yang mempunyai makna konotatif. Konotasi pada dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan interpersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain.

D.                Normative Theories
Teori normatif yang berada pada normative period, yaitu periode 1956-1970 (Harahap, 2008:  107)  berusaha menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntan dalam proses penyajian informasi keuangan kepada para pemakai dan bukan menjelaskan tentang apakah informasi keuangan itu dan mengapa hal itu terjadi. Menurut Nelson (1973) dalam Ghozali dan Anis (2007), teori normatif sering disebut sebagai teori a priori (dari sebab akibat dan bersifat deduktif).
Pendekatan normatif yang berjaya selama  satu dekade ternyata tidak dapat menghasilkan teori akuntansi yang siap  dipakai di dalam praktik sehari-hari.  Design sistem akuntansi yang dihasilkan dari penelitian normatif dalam kenyataannya tidak dipakai dalam praktik. Sebagai akibatnya  muncul anjuran untuk memahami secara deskriptif berfungsinya sistem akuntansi  di dalam praktik nyata. Harapannya dengan pemahaman dari praktik langsung akan muncul design sistem akuntansi yang lebih berarti (Ghozali, 2000).
Teori normatif berkonsentrasi pada penciptaan laba sesungguhnya (true income) selama satu periode akuntansi atau terkait tipe informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan (decision-usefulness). Teori  true income berkonsentrasi pada penciptaan pengukur  tunggal yang unik dan benar untuk aktiva dan laba. Sedangkan pendekatan  decision usefulness menganggap bahwa tujuan dasar dari akuntansi adalah untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan cara menyediakan data akuntansi yang relevan atau bermanfaat.
Tuntutan atas adanya pendekatan positif terhadap akuntansi terjadi ketika Jensen  (1976) menyatakan bahwa penelitian dalam akuntansi (dengan satu atau dua pengecualian yang dapat dicatat) tidak bersifat ilmiah...karena fokus penelitian telah sangat normatif dan terdefinisi. Selanjutnya Jensen mengharapkan  adanya perkembangan suatu teori akuntansi positif yang akan menjelaskan mengapa akuntansi seperti apa adanya ia, mengapa akuntan melakukan apa yang mereka lakukan, dan apa pengaruh yang dimiliki fenomena terhadap penggunaan orang dan sumber daya.
Watt and Zimmerman (1986) mengungkapkan bahwa terdapat tiga alasan mendasar terjadinya pergeseran pendekatan normatif ke positif, yaitu:
1.        Ketidakmampuan pendekatan normatif dalam menguji  teori secara empiris, karena didasarkan pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat diuji keabsahannya secara empiris.
2.        Pendekatan normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran  investor secara individual dari pada kemakmuran masyarakat luas.
3.        Pendekatan normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya  alokasi sumber daya ekonomi secara optimal di pasar modal.
Hal ini mengingat bahwa dalam sistem perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar, informasi akuntansi dapat menjadi  alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi secara efisien. Lebih lanjut Watt and Zimmerman menyatakan bahwa dasar pemikiran untuk menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu sederhana dan tidak memberikan dasar teoritis yang kuat. Untuk menutupi kelemahan dari teori normatif, Watt and Zimmerman mengembangkan pendekatan positif yang berlaku dalam specific scientific period (1970-sekarang).
E.                 Positive Theories
Riset akuntansi positif pertama kali diketahui dilakukan oleh William H. Beaver (1968) dengan terbitnya artikel yang berjudul “The Information Content of Annual Earnings Announcements” (Jensen, 1976: 4, 8). Selanjutnya teori akuntansi positif diakui kemunculannya ketika Watts dan Zimmerman mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Towards a Positive Theory of The Determination of Accounting Standard” pada tahun 1978. Artikel tersebut telah menjadikan teori akuntansi positif sebagai paradigma riset akuntansi yang dominan yang berbasis empiris kualitatif dan dapat digunakan untuk  menjustifikasi berbagai teknik atau metode akuntansi yang sekarang digunakan atau mencari model  baru untuk pengembangan teori akuntansi dikemudian hari. Dalam hal ini teori akuntansi positif berusaha menjelaskan atau memprediksi fenomena nyata dan mengujinya secara empirik (Godfrey, el al, 1997 dalam Ghozali dan Anis, 2007).  Penjelasan atau prediksi dilakukan menurut kesesuaiannya dengan observasi dengan dunia nyata. Aliran positif merupakan perspektif yang dikenal luas oleh kalangan akademisi. Aliran ini pertama kali dikenalkan di Universitas  Chichago, kemudian meluas ke beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, seperti Rochester, Barkley, Stanford, UCLA, NY (Rasyid, 1997: 13-21). Tujuan teori akuntansi positif adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict) praktik akuntansi. Penjelasan berarti memberikan alasan-alasan terhadap praktik yang diamati. Misalnya,  teori akuntansi positif berusaha menjelaskan mengapa perusahaan tetap menggunakan akuntansi  cost historis dan mengapa perusahaan tertentu mengubah teknik akuntansi mereka. Sedangkan prediksi terhadap praktik akuntansi berarti teori berusaha memprediksi fenomena yang belum diamati.
Kehadiran teori akuntansi positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan akuntansi. Adapun kontribusi teori akuntansi positif terhadap pengembangan akuntansi adalah  menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik terhadap pola tersebut,  memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi,  menunjukkan peran utama contracting cost dalam teori akuntansi,  menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memprediksi pilihan-pilihan akuntansi,  mendorong riset yang relevan dimana akuntansi menekankan pada prediksi dan penjelasan terhadap fenomena akuntansi.
Dorongan terbesar dari teori akuntansi  positif dalam akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to predict) pilihan standar manajemen melalui analisis atas biaya dan manfaat dari pengungkapan keuangan tertentu dalam hubungannya dengan berbagai  individu dan pengalokasian sumber daya ekonomi. Teori akuntansi positif didasarkan pada adanya dalil bahwa manajer, pemegang saham, dan aparat pengatur adalah rasional dan bahwa mereka berusaha untuk memaksimalkan kegunaan mereka yang secara langsung berhubungan dengan kompensasi mereka, dan tentunya kesejahteraan mereka pula. Pilihan atas  suatu kebijakan akuntansi oleh beberapa kelompok tersebut bergantung pada perbandingan relatif biaya dan manfaat dari prosedur akuntansi alternatif dengan cara demikian untuk memaksimalkan kegunaan mereka.

Riset Yang Mendukung Teori Akuntansi Positif
Penelitian positif di bidang akuntansi dimulai pada pertengahan tahun 1960 dan menjadi paradigma yang dominan pada tahun 1970an dan 1980an (Deegan, 2004: 205). Teori akuntansi positif telah banyak diuji dengan menggunakan pilihan-pilihan metode akuntansi. Christie (1990: 15-36) menyimpulkan bahwa terdapat enam proksi yang telah diketahui memiliki kemampuan dalam menjelaskan praktek-praktek yang merupakan cerminan dari aplikasi teori akuntansi positif. Keenam proksi tersebut  meliputi ukuran perusahaan, tingkat resiko, kompensasi manajerial, porsi utang terhadap aktiva atau modal, pembatas-pembatas dalam penyelesaian utang, dan rasio pembayaran dividen.













DAFTAR PUSTAKA

www.library.binus.ac.id diunduh pada tanggal 17 Februari 2016
www.journal.tarumanagara.gac.id diunduh pada tanggal 17 Februari 2016
Harun Hadiwijono. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. 130-131.
Adi Armin. 2003. Richard Rorty. Jakarta:Teraju. 20-28, 96.
C.F. Delaney. 1999. "Dewey, John". In The Cambridge Dictionary of Philosophy.
Robert Audi, ed. 229-231. London: Cambridge University Press.
A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.189.
John Hospers. 1997. An Introduction to Philosophical Analysis. London:Routledge. 43-47.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar